Ini kata-kata yang sering saya dengar beberapa bulan terakhir ini,
setidaknya apakah ini sebuah teguran bagi saya untuk kembali memaknai
setiap yang saya kerjakan, saya pikirkan dan yang saya kejar.mungkin
teman-teman juga sering mendengarnya.
Suatu hari saya tengah menjalani koskap (kepanitraan klinik=Koas aka
pendidikan profesi dokter umum) di labPublic health ,banyak sekali
pelajaran yang bisa diambil, barangkali karena lab ini merupakan lab
bukan klinis dan salah satu favorit saya.
Saya pun dan kawan-kawan jauh2 hari membentuk kelompok puskesmas,
berharap banyak saya bisa melakukan banyak hal dan mendapatkan banyak
hal pula. Tiba suatu ketika penentuan kelompok, kami bergegas
mengumpulkan daftar kelompok, detelah nama kelompok tertera di papan,
ternyata ada teman kami yang belum dapat kelompok (entah dengan berbagai
alasan) sehingga memaksa setiap kelompok untuk merelakan, salah satu
anggotanya untuk pindah, karena berbagai hal akhirnya saya memutuskan
untuk keluar dari kelompok (walaupun sedih sekali, bahkan ada teman yang
sampai akan meneteskan air mata, wajahnya memerah dan berkaca-kaca, ada
anggota lain yang akhirnya cemberut bersedih atas keputusan saya
tersebut) namun dalam hati saya ingin teman-teman tetap semangat. saya
pun demikian, walaupun sedikit sekali kemungkinan apa yang says ingin
pelajari dari PH ini akan sedikit tersandung, karena dari awal tidak
memiliki pemikiran yang sama dengan kelompok baru saya.
Tibalah kami di puskesmas, kami semua dengan “riang gembira” mendapat
puskesmas yang jauh, ah tidak apalah yang penting bisa belajar. suatu
hari, Saya dan teman saya sedang mencari data untuk menentukan jenis
promosi kesehatan yang akan kami lakukan. dan salah satu pegawainya
nyeletuk yang menurut saya tidak lucu sma sekali, “gampang aja mbak,
nyari yang deket2, yang gampang, kan formalitas aja kan” begitu katanya,
langsung saya potong “maksudnya gmana? jauh-jauh saya kesini hanya
dibilang untuk mencari formalitas??? jangan bilang itu pada sayam,
karena saya ingin melakukannya sepenuh hati dan belajar sungguh2″, dia
hanya tertawa kecil dan berkata “iya kah?”. Huh, dasar, bikin kesel
saja. Formalitas katanya??, pakai topeng dong saya? topeng karena saya
mahasiswa? saya terlalu tua untuk pakai topeng, saya tidak mau
formalitas, dan menyia-nyiakan waktu saya untuk sebuah kepura-puraan
melakukan sesuatu. Saya ingin melakukannya karena saya hidup, saya ingin
hidup saya berarti, bukan sebuah kepura-puran atau formalitas belaka…
Usut punya usut memang penggunaan formal ini sudah dipakai sejak
lama, lembaga pendidikan formal, sekolah formal dll. mari kita telusuri
tentang pendidikan kita utamanya di sekolah. mungkin kajian saya tidak
sepenuhnya benar secara mengkritisi pendidikan, karena saya bukan
sarjana pendidikan yang sangat paham hakekat pendidikan, namun saya
sebagai calon ibu dan seorang anak yang juga menempuh pendidikan, maka
tidak ada alasan bagi saya untuk tidak mengkajinya, sepanjang ilmu yang
sudah saya terima.
Kita mulai dari kata sekolah, Kata sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. lebih lengkapnya tentang sejarah ini.
sebenarnya, yang saya pikirkan adalah apakah benar-benar pemberian
nilai dan peringkat di sekolah itu adalah satu-satunya cara untuk
membuat seorang anak bersemangat belajar di sekolah, atau sebaliknya
malah minder dan tertanam selalu di kepalanya bahwa dia bukan anak
pintar? bahkan dia tidak bisa mengeluarkan dirinya dari frame bahwa dia
tidak punya kelebihan apapun karena statemen dari guru, teman, atau
orang tuanya karena hanya beberapa pelajaran yang tidak dikuasai di
sekolah. menjadi melupakan kebahagiaannya sebagai anak-anak, menjadi
seorang ambisius yang mencari sebuah formalitas angka. Memang saya dari
kecil tidak begitu mempermasalahkan berapa nilai saya, berapa peringkat
saya, karena yang dipikirkan saya waktu itu sekolah itu menyenangkan
karena bisa bertemu teman-teman, ada keigiatan kerjainannya, itu saja,
sehingga sedih sekali kalau tidak sekolah. Saya baru tau yang namanya
belajar itu ya di kampus, itupun justru membuat saya tidak nyaman,
bahkan pelajaran sepertinya tertolak oleh otak saya untuk dijadikan
memori, yah itu baru saya ingat itu adalah waktu “belajar” saya, jika
dicocokkan dengan pengertian belajar jaman saat ini.
ketika dulu SD_SMP_SMA mengerjakan matematika, fisika, kimia,
kesenian, itu senang-senang, saya bisa mencari rumus-rumus baru ala saya
yang cepat dan mudah, jadi saya bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan
cepat dan selanjutnya bisa bersepeda, bahkan rumusnya ditemukan saat
saya bersepeda. tidak ada alasan saya untuk menemukan rumus-rumus itu
kecuali sebuah kesenangan. Suatu saat saya mengerjakan PR matematika,
saya mengerjakannya, mencari beberapa cara yang menurut saya efisien,
gampang dan ndak jelimet, keesokan harinya yang terjadi PR saya dicoret,
diberi nilai nol, saya sedih bukan karena nilai nolnya, tapi karena
gurunya tidak menerima cara yang saya tuliskan di buku, harus sesuai
caranya ketika menjelaskan pelajaran matematika hari sebelumnya. Saya
sangat sedih dan protes ke ayah saya yang kebetulan guru juga, beliau
hanya bisa tersenyum. Usut punya usut, cara itu ternyata ada di buku
cara cepat mengerjakan matematika. Saya tidak habis pikir apa yang
sebenarnya sedang terjadi, apakah yang menjadi outcome sebuah pendidikan
formal? anak dengan ingatan aksioma, rumus2 di sekolah? apakah akan
senantiasa bertahan dengan yang lama? atau seorang anak dengan
khayalannya mengembangkan pengetahuan yang diperolehnya saat di sekolah.
bukankan begitu? kalau tidak, maka akan yang ada kita akan selalu
membebek poengetahuan, padahal esensi belajar bukan seperti itu bukan?
ini menurut saya, menurut anda?
Suatu ketika, saya mendapat telepon dari orang tua saya yang
kelabakan dengan sikap adek saya yang malas belajar, malas sekolah dan
lainnya. Saya pun segera menelepon, ketika saya bertanya kenapa malas?
dia bilang pelajarannya gitu-gitu saja, saya bosan, nah loo. ini juga
bukan sebuah kesalahan darinya. COba kita bandingkan anak TK, SD, SMP,
SMA ketika berangkat sekolah, kira2 wajahnya yang penuh semangat yang
mana? lalu alasannya kira2 apa? yah sebuah kegembiraan atau kesenangan
dalam belajar. Yang semakin hilang dari anak-anak sekolah, menjadi
pemurung, sedih dan tegang, frustasi dengan nilai-nilai sekolahnya,
belum lagi panggilan dari BP dan guru yang menambah ruwet pikirannya,
bukan menyelesaikan masalah.
Saya tidak sepenuhnya menyalahkan sekolah, karena tugas mendidik
bukanlah beban sekolah seluruhnya, tapi beban semua orang di dunia ini,
yang masih ingin melihat perkembangan dan peradaban yang baik. Karena
keluarga adalah sumber pendidikan yang sesungguhnya. Mari kita liat
sebenarnya waktu belajar di sekolah Indonesia berapa? ada artikel yang
bisa dibaca disini
. Mudah2an yang saya tulis ini bukan untuk menyalahkan siapapun atas
kekurangan kita, namun saya ingin menyadarkan diri saya dan orang
sekitar tentang masalah yang kita hadapi saat ini. Karena Sumber Daya
yang paling mahal adalah pengetahuan manusia… itu yang membuat kita
maju, bukan karena minyak bumi, lautan dan lainnya, itu hanya bonus.
So jangan belajar hanya karena formalitas ya, lembaga pendidikan
boleh formal, sekolah boleh formal, acara boleh formal, tapi jangan
sampai semangat atau pemikiran kita tentang sesuatu, pekerjaan, amalan
itu sebuah formalitas, karena tiba2 ketika kita sudah tua, ternyata kita
belum merasakan nikmatnya belajar, nikmatnya bekerja, nikmatnya
melakukan sesuatu karena kita sibuk dengan formalitasnya, lupa akan
esensi dan kesenangan di dalamnya.. Semangat :::^^v:::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar